Pemeriksaan Pranatal untuk Gangguan Genetik dan Cacat Lahir

OlehJeffrey S. Dungan, MD, Northwestern University, Feinberg School of Medicine
Ditinjau OlehOluwatosin Goje, MD, MSCR, Cleveland Clinic, Lerner College of Medicine of Case Western Reserve University
Ditinjau/Direvisi Feb 2024 | Dimodifikasi Apr 2025
v808741_id

Pemeriksaan pranatal untuk kelainan genetik dan cacat lahir melibatkan pemeriksaan wanita hamil atau janin sebelum kelahiran (pranatal) untuk menentukan apakah janin memiliki kelainan tertentu, termasuk kelainan genetik bawaan atau spontan. Tes skrining noninvasif (seperti ultrasonografi atau tes darah) sering kali dilakukan terlebih dahulu, dan jika hasilnya tidak normal, seorang wanita hamil dapat memutuskan apakah akan menjalani tes invasif. Tes invasif, seperti pengambilan sampel vilus korionik, amniosentesis, dan pengambilan sampel darah tali pusat perkutan, menggunakan sampel asam deoksiribonukleat (DNA) janin dan lebih akurat. Namun, tindakan ini mungkin melibatkan risiko rendah keguguran atau membahayakan janin.

Ultrasonografi sering kali merupakan bagian dari perawatan pranatal rutin. Untuk tes noninvasif atau invasif lainnya untuk kelainan genetik janin atau cacat lahir, calon orang tua harus mendiskusikan keakuratan tes tersebut dan segala risikonya dengan tenaga kesehatan profesional. Tes noninvasif, seperti ultrasonografi, biasanya tidak memiliki risiko langsung, tetapi jika hasilnya positif palsu (hasil tes tidak normal tetapi bayi tidak mengalami kelainan), hal ini dapat mengarahkan orang tua untuk melakukan tes invasif, yang memiliki beberapa risiko.

Orang tua harus mempertimbangkan risiko terhadap manfaat melakukan tes dan mengetahui apakah bayi mereka memiliki kelainan. Sebagai contoh, mereka harus memikirkan apakah tidak mengetahui hasil pemeriksaan akan menyebabkan kecemasan. Mereka harus memikirkan bagaimana mereka akan menggunakan informasi tersebut jika mereka mengetahui bahwa bayi mereka memiliki kelainan. Mereka harus mempertimbangkan apakah mereka akan melakukan aborsi. Jika tidak, mereka harus mempertimbangkan apakah mereka masih ingin mengetahui adanya kelainan sebelum kelahiran (misalnya, untuk mempersiapkan diri secara psikologis) atau apakah mengetahui hanya akan menyebabkan tekanan. Bagi sebagian orang tua, risikonya lebih besar daripada manfaat mengetahui apakah bayi mereka memiliki abnormalitas kromosom, sehingga mereka memilih untuk tidak menjalani tes.

Tabel
Tabel

Pemeriksaan Pranatal Noninvasif untuk Kelainan Genetik

Beberapa jenis tes noninvasif telah dikembangkan untuk mencoba mendeteksi kelainan tertentu pada janin. Tes atau kombinasi tes saat ini dapat memeriksa ada tidaknya

Terkadang lebih dari 1 jenis tes perlu dilakukan, karena tidak semua tes mendeteksi kelainan kromosom dan cacat tuba neural.

Tes pranatal noninvasif adalah tes skrining, yang berarti hasil tidak normal menimbulkan kekhawatiran bahwa janin mungkin mengalami kelainan, tetapi hasilnya tidak memberikan informasi yang pasti. Jika hasil tes tidak normal, calon orang tua dapat memilih untuk menjalani tes pranatal invasif untuk memastikan apakah janin memiliki kelainan. Tes noninvasif tidak menimbulkan risiko apa pun terhadap janin atau kehamilan dan terdiri dari satu atau lebih hal berikut:

  • Tes darah (menggunakan darah ibu) untuk DNA janin

  • Tes darah (menggunakan darah ibu) untuk zat tertentu (disebut penanda serum), seperti alfa-fetoprotein atau gonadotropin korionik manusia

  • Ultrasonografi untuk mengukur bagian janin tertentu (seperti ruang berisi cairan di dekat bagian belakang leher janin, yang disebut tembus pandang nuchal janin)

Selama kehamilan, sebagian zat berpindah dari janin ke ibu dan dapat diperiksa dengan melakukan tes darah pada ibu. Ini termasuk beberapa DNA janin. Selain itu, untuk kelainan janin tertentu, janin menghasilkan kadar penanda serum tertentu yang tidak normal.

Dokter biasanya menawarkan untuk melakukan tes darah untuk skrining kelainan janin sebagai bagian dari perawatan pranatal rutin. Namun, beberapa calon orang tua memutuskan untuk tidak melakukan tes.

Terkadang calon orang tua memutuskan untuk melewati tes noninvasif ini dan langsung melanjutkan ke tes genetik pranatal invasif (seperti pengambilan sampel vilus korionik atau amniosentesis), terutama jika pasangan tersebut berisiko lebih tinggi memiliki bayi dengan kelainan genetik.

Jika kehamilan ingin dicapai dengan menggunakan fertilisasi in vitro, kelainan genetik terkadang dapat didiagnosis sebelum telur yang dibuahi dipindahkan dari cawan kultur ke rahim (disebut diagnosis genetik praimplantasi). (Lihat juga Gambaran Umum Kelainan Kromosom dan Gen serta Gambaran Umum Cacat Lahir.)

Calon orang tua harus ingat bahwa tes skrining tidak selalu akurat. Tes skrining dapat melewatkan adanya kelainan atau mungkin menunjukkan adanya kelainan padahal sebenarnya tidak ada.

Tes Skrining DNA Bebas Sel

Metode umum untuk skrining kelainan kromosom janin, termasuk sindrom Down, trisomi 18, dan trisomi 13, adalah analisis DNA bebas sel (cfDNA) dalam darah ibu, yang dapat dilakukan sejak usia kehamilan 10 minggu. Untuk tes ini, fragmen kecil DNA janin yang terdapat dalam darah ibu dalam jumlah sangat kecil akan dianalisis. Tingkat deteksi menggunakan teknologi ini lebih tinggi daripada kebanyakan metode noninvasif lainnya.

Tes Skrining Penanda Serum

Tes penanda serum pada darah ibu dapat mengetahui ada tidaknya abnormalitas kromosom, cacat tuba neural, atau keduanya.

Pilihan tes penanda serum mana yang akan digunakan dapat bergantung pada waktu (mendapatkan hasil tes di awal kehamilan), preferensi lain dari calon orang tua, atau tes yang biasanya digunakan oleh klinik atau rumah sakit. Penanda yang penting termasuk yang berikut ini:

  • Alfa-fetoprotein: Adalah protein yang diproduksi oleh janin

  • Protein plasma A terkait kehamilan (Pregnancy-associated plasma protein A, PAPP-A): Adalah protein yang dihasilkan oleh plasenta

  • Estriol: Hormon yang terbentuk dari zat yang dihasilkan oleh janin

  • Gonadotropin korionik manusia: Hormon yang dihasilkan oleh plasenta

  • Inhibin A: Hormon yang dihasilkan oleh plasenta

Skrining penanda serum dapat terdiri dari kombinasi beberapa tes yang berbeda. Penanda biasanya diukur pada usia kehamilan 10 hingga 13 minggu (pemeriksaan trimester pertama). Penanda lainnya diukur pada usia kehamilan 16 hingga 18 minggu (skrining trimester kedua).

Terkadang tes serum dilakukan bersama dengan tes yang mengukur translusensi nuchal janin. Bersama tes ini, dokter menggunakan ultrasonografi untuk melihat ruang berisi cairan di dekat bagian belakang leher janin.

Tes untuk Catat Tuba Neural

Kadar alfa-fetoprotein dalam darah biasanya diukur pada semua wanita hamil, jika tes lain tidak menyertakan penanda ini (misalnya, beberapa pilihan penanda serum trimester pertama, pengambilan sampel vili korionik, atau amniosentesis). Kadar yang tinggi dapat mengindikasikan peningkatan risiko memiliki

Kadar alfa-fetoprotein juga dapat meningkat karena alasan lain, termasuk

Ultrasonografi dilakukan jika tes darah mendeteksi adanya kadar alfa-fetoprotein abnormal pada wanita hamil.

Amniosentesis adalah tes invasif yang dilakukan jika tes lebih lanjut diperlukan. Tes ini memungkinkan dokter untuk mengukur kadar alfa-fetoprotein dalam cairan yang mengelilingi janin (cairan ketuban), menganalisis kromosom janin, dan menentukan apakah cairan ketuban mengandung enzim yang disebut asetilkolinesterase. Mengetahui kadar alfa-fetoprotein dan ada tidaknya asetilkolinesterase membantu dokter menilai risiko cacat tuba neural atau kelainan lainnya dengan lebih baik.

Kadar alfa-fetoprotein yang tinggi atau adanya asetilkolinesterase dalam cairan ketuban menunjukkan

  • Kerusakan tuba neural

  • Kelainan pada struktur lain, seperti esofagus, ginjal, atau dinding perut

Kadar alfa-fetoprotein yang tinggi ditambah asetilkolinesterase dalam cairan ketuban menunjukkan risiko tinggi

Ultrasound

Ultrasonografi umumnya dilakukan sebagai tes rutin selama kehamilan. Tidak ada risiko yang diketahui bagi wanita atau janin. Ultrasonografi dapat digunakan untuk:

  • Menunjukkan apakah janin masih hidup

  • Menentukan apakah ada lebih dari satu janin

  • Mengonfirmasi usia janin (usia gestasional)

  • Menentukan lokasi plasenta

  • Pada trimester kedua, mendeteksi cacat lahir struktural tertentu yang jelas, termasuk pada otak, sumsum tulang belakang, jantung, ginjal, lambung, dinding perut, dan tulang, beberapa di antaranya dapat mengindikasikan peningkatan risiko kelainan kromosom pada janin

Jika seorang wanita hamil memiliki hasil abnormal pada tes darah pranatal atau riwayat cacat lahir dalam keluarga (seperti cacat lahir pada jantung atau bibir dan langit-langit sumbing), dapat dilakukan ultrasuara untuk mengevaluasi janin. Namun, hasil normal tidak menjamin janin tidak memiliki kelainan, karena tidak semua kelainan dapat dideteksi. Kondisi tertentu, seperti cacat tuba neural, masih mungkin terjadi. Hasil ultrasonografi dapat menunjukkan kelainan kromosom pada janin, tetapi ultrasonografi tidak dapat mengidentifikasi masalah secara spesifik. Dalam kasus seperti ini, amniosentesis dapat direkomendasikan.

Ultrasonografi terarah menggunakan peralatan resolusi tinggi dapat dilakukan di beberapa pusat khusus. Ini memberikan lebih banyak detail dan mungkin lebih akurat daripada ultrasonografi standar, terutama untuk cacat lahir kecil. Ultrasonografi terarah yang dilakukan selama trimester kedua dapat membantu memperkirakan risiko kelainan kromosom. Ultrasonografi terarah bertujuan untuk mengidentifikasi cacat lahir struktural tertentu yang mengindikasikan peningkatan risiko kelainan kromosom. Tes ini juga dapat mendeteksi variasi tertentu pada organ yang tidak memengaruhi fungsi tetapi dapat mengindikasikan peningkatan risiko kelainan kromosom. Namun, hasil yang normal belum tentu berarti tidak ada risiko kelainan kromosom.

Tes Invasif untuk Diagnosis Pranatal

Beberapa prosedur dapat digunakan untuk memeriksa materi genetik janin secara langsung untuk mengetahui ada tidaknya kelainan genetik dan kromosom. Tes ini bersifat invasif (yaitu, perlu memasukkan instrumen ke dalam tubuh) dan memiliki sedikit risiko keguguran atau membahayakan janin.

Amniosentesis

Salah satu prosedur yang paling banyak dilakukan untuk mendeteksi kelainan sebelum kelahiran adalah amniosentesis. Sering ditawarkan kepada wanita di atas usia 35 tahun karena mereka berisiko lebih tinggi untuk memiliki janin dengan kelainan kromosom dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Namun, banyak dokter menawarkan tes ini kepada semua wanita hamil, dan setiap wanita hamil dapat memintanya, meskipun risikonya tidak lebih tinggi dari normal.

Dalam prosedur ini, sampel cairan yang mengelilingi janin (cairan ketuban) diambil dan dianalisis. Amniosentesis biasanya dilakukan pada usia kehamilan 15 minggu atau lebih. Cairan tersebut mengandung sel-sel yang telah dilepaskan oleh janin. Sel-sel ini tumbuh di laboratorium sehingga kromosom di dalamnya dapat dianalisis. Amniosentesis memungkinkan dokter untuk mengukur kadar alfa-fetoprotein (protein yang dihasilkan oleh janin) dalam cairan ketuban. Pengukuran ini lebih diandalkan untuk menunjukkan apakah janin memiliki cacat otak atau sumsum tulang belakang dibandingkan dengan pengukuran kadar ini dalam darah wanita.

Mendeteksi Kelainan Sebelum Kelahiran

Pengambilan sampel vilus korionik dan amniosentesis digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan pada janin. Selama kedua prosedur tersebut, ultrasonografi digunakan sebagai pemandu.

Dalam pengambilan sampel vili korionik, sampel vili korionik (bagian dari plasenta) diambil dengan salah satu dari dua metode tersebut. Dalam metode transervikal, dokter memasukkan slang tipis dan fleksibel (kateter) melalui vagina dan serviks ke dalam plasenta. Dalam metode transabdominal, dokter memasukkan jarum melalui dinding perut ke dalam plasenta. Dalam kedua metode tersebut, sampel plasenta diisap dengan jarum suntik dan dianalisis.

Dalam amniosentesis, dokter memasukkan jarum melalui dinding perut ke dalam cairan ketuban. Sampel cairan diambil untuk dianalisis.

Sebelum prosedur, ultrasonografi dilakukan untuk mengevaluasi jantung janin, memastikan usia kehamilan, menentukan letak plasenta dan cairan ketuban, serta menentukan jumlah janin yang ada.

Seorang dokter memasukkan jarum melalui dinding perut ke dalam cairan ketuban. Terkadang anestesi lokal digunakan lebih dulu untuk membius bagian tersebut. Selama prosedur, dilakukan ultrasound sehingga janin dapat dipantau dan jarum dapat diarahkan ke tempatnya. Cairan dikeluarkan, dan jarum dicabut.

Kadang-kadang, cairan ketuban mengandung darah dari janin. Darah tersebut dapat meningkatkan kadar alfa-fetoprotein, sehingga hasilnya sulit ditafsirkan.

Jika wanita memiliki darah Rh-negatif, mereka akan diberikan imunoglobulin Rho (D) setelah prosedur untuk mencegah mereka memproduksi antibodi terhadap faktor Rh. Ketika seorang wanita dengan darah Rh-negatif mengandung janin dengan darah Rh-positif (disebut inkompatibilitas Rh), ia dapat memproduksi antibodi ini jika darah janin bersentuhan dengan darahnya, seperti yang mungkin terjadi selama amniosentesis. Antibodi ini dapat menyebabkan masalah pada janin dengan darah Rh-positif. Suntikan tidak diperlukan jika ayah juga memiliki darah Rh-negatif karena dalam kasus seperti itu, janin akan selalu memiliki darah Rh-negatif.

Amniosentesis jarang menimbulkan masalah bagi wanita atau janin. Hal berikut dapat terjadi:

  • Rasa pegal: Beberapa wanita merasa sedikit pegal selama satu atau dua jam setelahnya.

  • Bercak darah atau kebocoran cairan ketuban dari vagina: Sekitar 1 hingga 2% wanita mengalami masalah ini, tetapi masalahnya tidak berlangsung lama dan biasanya berhenti tanpa pengobatan.

  • Keguguran: Peluang keguguran karena amniosentesis adalah sekitar 1 dari 500 hingga 1.000.

  • Cedera jarum pada janin: Cedera ini sangat jarang terjadi.

Amniosentesis biasanya dapat dilakukan ketika seorang wanita hamil dengan janin kembar atau bahkan lebih.

Pengambilan Sampel Vilus Korionik

Dalam pengambilan sampel vilus korionik, dokter akan mengambil sampel kecil vilus korionik, yang merupakan proyeksi kecil yang membentuk bagian dari plasenta. Prosedur ini digunakan untuk mendiagnosis beberapa gangguan pada janin, biasanya antara usia kehamilan 10 sampai 12 minggu.

Tidak seperti amniosentesis, pengambilan sampel vilus korionik tidak memungkinkan dokter memperoleh sampel cairan ketuban. Akibatnya, dokter tidak dapat mengukur kadar alfa-fetoprotein dalam cairan ketuban untuk memeriksa kerusakan otak dan sumsum tulang belakang (cacat tuba neural). Dokter mungkin menyarankan agar amniosentesis atau tes darah untuk mengukur alfa-fetoprotein dilakukan di akhir kehamilan untuk memeriksa ada tidaknya masalah ini.

Keuntungan utama dari pengambilan sampel vilus korionik adalah hasilnya tersedia jauh lebih awal pada masa kehamilan dibandingkan amniosentesis. Dengan demikian, jika tidak ditemukan adanya kelainan, kecemasan pasangan tersebut dapat dikurangi lebih awal. Jika kelainan terdeteksi lebih awal dan jika pasangan memutuskan untuk mengakhiri kehamilan, metode yang lebih sederhana dan lebih aman dapat digunakan. Selain itu, deteksi dini suatu kelainan dapat memberikan pasangan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kelahiran anak dengan kebutuhan medis khusus.

Sebelum pengambilan sampel vili korionik, ultrasonografi dilakukan untuk menentukan apakah janin masih hidup, memastikan usia kehamilan, memeriksa kelainan yang tampak jelas, dan menemukan plasenta.

Sampel vili korionik dapat diambil melalui serviks (transervikal) atau dinding perut (transabdominal).

  • Melalui serviks: Wanita berbaring telentang dengan pinggul dan lutut ditekuk, biasanya ditopang oleh sanggurdi tumit atau lutut, untuk pemeriksaan panggul. Dokter memasukkan slang tipis dan fleksibel (kateter) melalui vagina dan serviks ke dalam plasenta. Bagi sebagian besar wanita, prosedur ini terasa sangat mirip dengan tes Papanicolaou (Pap), tetapi beberapa wanita merasa ini lebih tidak nyaman. Metode ini tidak dapat digunakan pada wanita yang menderita infeksi genital aktif (seperti herpes genital atau gonore).

  • Melalui dinding perut: Dokter membius area kulit di atas perut dan memasukkan jarum melalui dinding perut ke dalam plasenta. Sebagian besar wanita tidak merasa prosedur ini menyakitkan. Tetapi bagi beberapa wanita, area di atas perut terasa sedikit nyeri selama satu atau dua jam setelahnya.

Untuk kedua prosedur ini, dokter menggunakan ultrasonografi untuk memandu mereka saat memasukkan kateter atau jarum dan mengisap sampel jaringan dengan jarum suntik. Sampel kemudian dikirim untuk dianalisis. Banyak wanita mengalami bercak ringan selama satu atau dua hari setelah salah satu dari prosedur ini.

Setelah pengambilan sampel vili korionik, wanita yang memiliki darah Rh-negatif dan tidak memiliki antibodi terhadap faktor Rh diberikan suntikan imunoglobulin Rho (D) untuk mencegah mereka memproduksi antibodi terhadap faktor Rh. Ketika seorang wanita dengan darah Rh-negatif mengandung janin dengan darah Rh-positif (disebut inkompatibilitas Rh), ia dapat memproduksi antibodi ini jika darah janin bersentuhan dengan darahnya, seperti yang mungkin terjadi selama pengambilan sampel vilus korionik. Antibodi ini dapat menyebabkan masalah pada janin. Suntikan tidak diperlukan jika ayah juga memiliki darah Rh-negatif karena dalam kasus seperti itu, janin akan selalu memiliki darah Rh-negatif.

Risiko pengambilan sampel vili korionik sebanding dengan risiko amniosentesis. Risiko paling umum adalah keguguran, yang terjadi pada sekitar 1 dari 500 prosedur.

Jarang terjadi, diagnosis genetik tidak jelas setelah pengambilan sampel vilus korionik, dan amniosentesis mungkin diperlukan. Secara umum, keakuratan kedua prosedur tersebut sebanding.

Pengambilan Sampel Darah Tali Pusat Perkutan

Pada pengambilan sampel darah tali pusat perkutan (melalui kulit), dokter terlebih dahulu membius area kulit di atas perut. Dengan dipandu ultrasonografi, dokter kemudian memasukkan jarum melalui dinding perut dan rahim ke dalam tali pusat. Sampel darah janin diambil dan dianalisis, dan jarum dicabut. Pengambilan sampel darah tali pusat perkutan merupakan prosedur invasif. Hal ini dapat menyebabkan keguguran pada sekitar 1 dari 100 prosedur.

Di masa lalu, pengambilan sampel darah tali pusat perkutan digunakan ketika analisis kromosom cepat diperlukan, terutama menjelang akhir kehamilan ketika ultrasonografi mendeteksi kelainan pada janin. Akan tetapi, prosedur ini sekarang jarang digunakan untuk tujuan ini. Sebaliknya, dokter menganalisis gen dalam sel cairan ketuban (didapatkan selama amniosentesis), atau mereka menganalisis bagian dari plasenta (didapatkan selama pengambilan sampel vilus korionik). Tes ini tidak terlalu berbahaya dan memberikan hasil yang lebih cepat.

Saat ini, pengambilan sampel darah tali pusat perkutan kadang-kadang dilakukan ketika dokter mencurigai janin mengalami anemia. Jika janin mengalami anemia berat, darah dapat ditransfusikan ke janin melalui jarum saat masih tertancap di tali pusat.

Tes Genetik Praimplantasi

Jika kehamilan ingin dicapai dengan menggunakan fertilisasi in vitro (bayi tabung), dokter terkadang dapat mendiagnosis kelainan genetik pada embrio sebelum embrio tersebut ditransfer ke dalam rahim wanita. Tes genetik praimplantasi membutuhkan keahlian teknis dan mahal. Tes ini digunakan terutama untuk calon orang tua yang berisiko tinggi memiliki bayi dengan kelainan genetik tertentu (seperti fibrosis kistik) atau kelainan kromosom. Namun, teknik yang lebih baru dapat mengurangi biaya dan membuat tes ini tersedia lebih luas.

Informasi Lebih Lanjut

Referensi berbahasa Inggris berikut ini mungkin akan berguna. Harap diperhatikan bahwa MANUAL ini tidak bertanggung jawab atas konten referensi ini.

  1. American College of Obstetricians and Gynecologists: Genetic Disorders: Situs web ini menyediakan definisi gen dan kromosom serta informasi dasar mengenai pewarisan, risiko memiliki bayi dengan cacat lahir, dan pemeriksaan ada tidaknya kelainan genetik dan kromosom.

Uji Pengetahuan Anda
Uji Pengetahuan AndaTake a Quiz!